Dinner Accident
Cahaya lampu yang menerangi jalanan dan tenangnya malam, tak mampu membuat sang pengendara merasa tenang, berkali-kali dia menghela nafasnya.
“i swear to god, if they talk about it again, i’m off.” Gumamnya.
Setelah melihat restoran yang ia tuju, mobil yang ia kendarai ia hentikan. Keluar dari mobil dan sedikit merapihkan jas yang ia pakai seharian ini. Ia berdecak malas lalu melangkahkan kakinya.
“Room 323 please,” ucapnya pada meja resepsionis.
Ia sudah tak asing dengan restoran yang biasa ia kunjungi, restoran western.
“wait a minute sir,
— room 323 in 3rd floor on the right side,” ucapnya pada pekerja di sebelahnya, sepertinya wanita itu baru saja melamar pekerjaan disitu.
“mari pak,” yang diangguki oleh Darel.
Sampailah dia di sana, “thanks,” ucapnya.
Darel membuka pintu, dan kegiatannya tersebut membuat mata semua orang tertuju padanya.
“sorry i’m late, jalanan macet.” Ujarnya bohong, padahal kalian membaca diatas bahwa jalanan begitu tenang.
“it’s fine, ayo duduk El,” suara yang sangat ia kenal menyuruhnya duduk, itu ibu dari Kika, aka Mellika irish.
“thanks,”
•
Percakapan berlanjut setelah acara makan malam itu selesai. Darel memutuskan untuk mencari kesibukan dengan melihat handphone. Ia tahu itu tidak pantas, tapi saat ini ia tidak peduli.
Sampai dimana notifikasi dari WhatsApp mengalihkan perhatiannya. Dahinya berkerut sejenak, dengan jelas ia melihat nama ‘Albirru’ tertera pada kolom chat. Albirru mengirimi ia gambar, tidak, fotonya yang terlihat….lucu??
Dan juga… menampilkan bubble chat berturut-turut seperti sedang mengomel? Ia terkekeh, sepertinya ‘calon’ sekretarisnya itu salah kirim.
Baru saja dia akan mengetikkan sesuatu, suara bubu memanggilnya, “El, ada kerjaan? Fokus banget sama hp nya,” ah.. haha, Darel mematikan handphone nya lalu beralih melihat sang bubu dan yang lain, yang sedang menatapnya juga.
Ia tersenyum, “iya nih bu, aku ada kerjaan yang belum aku kerjain, buru-buru kesini soalnya.
— Oh ya, om tante, kika, El pamit duluan, akhir-akhir ini pikiran El kacau jadi kerjaan ga keurus, maaf kalau kesannya ga sopan, permisi.” Ucapan El membuat semua orang disana bingung, terlebih lagi sang bubu, dirinya mengerutkan keningnya. Sedangkan sang suami menghela nafasnya, suara pintu tertutup membuat kika keheranan. Demi apapun, teman kecilnya kenapa?
•
•
Darel membuka pintu rumahnya, lalu berjalan cepat ke kamarnya, melewati sang kakak yang tengah melihat televisi di ruang tengah. Dengan tergesa ia mengambil berkas-berkas yang akan ia bawa ke apartemen miliknya.
Membuat wajah kebingungan sang kakak terpampang, ‘kenapa dengan sang adik?’
Dilihatnya, Darel menuruni tangga dengan raut wajah yang kesal, “El kenapa?” Panggil sang kakak.
Langkah kaki Darel terhenti, membalikkan badannya lalu berucap, “hal yang selalu terjadi ke aku kak,” ucap sang adik,
“hah? What do u mean? Hal yang selalu terjadi apa?” Bingung, karena demi apapun dia tidak paham.
Baru saja dia akan menjawabnya, lagi-lagi suara bubu menginterupsinya, “ El! Kamu ngelakuin apa tadi?! Kenapa berlaku ga sopan?!” Bentak sang bubu.
“see kak? this.” Bukannya menjawab pertanyaan sang bubu, Darel malah berucap hal lain.
“El, kamu sabar dulu, jangan gitu nak. Bisa kan ngomong baik-baik dulu, daddy kasih kamu waktu deh. Tapi harus mau kalau di ajak ngobrol ya?” Ucapan sang ayah sedikit menenangkan hati Darel yang berapi-api. Ia mengangguk, sang ayah tersenyum penuh arti.
Sang ayah berjalan ke arah Darel, memegang pundaknya dan berkata, “come with dad, kita ke belakang, kita dinginkan hal yang sudah mulai menyala-nyala.” Ujar sang ayah.
Duduklah mereka, memandang langit yang bertaburan bintang-bintang dan kolam renang yang terpampang didepan. Darel menghela nafasnya, “sorry dad, aku ngelakuin hal yang kekanakan, seharusnya Darel bisa mengendalikan emosi, tapi gabisa.” Ucapnya dalam kepala menunduk.
Sang ayah mengelus rambutnya, “it’s okay, at least you try it. Nunjukin emosi itu ga salah Darel, dan ini kali pertama dad lihat kamu marah, you did everything so good, sampai-sampai dad selalu ada rasa bangga tersendiri di hati dad, kamu selalu menjadi kebanggaan dad dari kecil Darel, jangan merasa di anak tirikan ya El?” Ucapan sang ayah membuat Darel menatap ayahnya,
“ayah tau kalau kamu merasa di anak tirikan sama dad, sama bubu? Ga sama sekali El, dad sama bubu sayang kalian berdua, gaada rasa dan niat kami untuk berlaku seperti itu. Tapi kamu yang ngerasain El, dad sama bubu minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja bikin El ngerasain itu semua. Dad juga ga bisa tau kalau tadi kamu ga nunjukin emosi kamu El, jangan pendem semuanya sendiri ya nak? Cerita sama orang-orang di sekitarmu, dad dengan senang hati mendengar cerita kamu.” Kata-kata ayahnya, membuat sang pemilik nama berkaca-kaca.
“Dad, El minta maaf..” hanya itu yang mampu dia ucapkan, sebuah pelukan hangat menyambutnya.
“walau kamu sudah dewasa, kamu tetep putra kecil dad sama bubu El. Setelah kakakmu menikah nanti, kamu juga akan menikah dengan seseorang yang sudah ditakdirkan menjadi pendamping mu, ingat satu hal ya El, Dad sama bubu selalu siap dengerin cerita kamu.” Ujar sang ayah, Darel tersenyum dan mengangguk.
“terimakasih dad.”
Adegan sang ayah dan anak itu tidak lepas dari penglihatan sang bubu dan sang kakak. Sang bubu yang merasa bersalah, karena selalu dengan tidak sengaja menyindir sang anak yang bertujuan memperingatkan, tapi dengan cara yang salah. Dan sang kakak yang merasa tidak berguna menjadi kakak yang tidak tahu perasaan sang adik selama ini.